Palembang Kota Minyak

Saturday, February 6, 2010

Saya lahir di kota Palembang (Sumatra Selatan), Indonesia. Begitu banyak kenangan masa kecil saya di kota ini. Kain songket Palembang yang berkualitas dan bermotif indah dengan benang sulam emasnya, jajanan khas Palembang, Jembatan Ampera yang membelah kota menjadi 2 bagian yaitu Palembang sebelah Hilir dan Palembang sebelah Hulu, Benteng Kuto Besak, Sungai Musi, Plaju kota minyak, Masjid Agung yang megah, tarian Gending Sriwijaya untuk menyambut tamu, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Kalo ngomong tentang makanan palembang tidak akan ada habisnya karena banyak sekali makanan khas palembang. Contohnya pempek, kemplang, tekwan, model, lemang, celimpungan, laksan, kue maksuba, dan masih banyak lagi. Pempek mudah ditemukan di setiap sudut Kota Palembang. Ada yang menjual di restoran, ada yang di gerobak, dan juga ada yang dipikul. Bahkan kantin-kantin di sekolah pasti ada yang menjual pempek.

Di sepanjang Sungai Musi, kita dapat menemukan beberapa objek wisata yang menjadi kebanggaan masyarakat Palembang. Sungai ini menjadi andalah masyarakat Palembang dalam hal transportasi air. Dapat dilihat dari banyaknya perahu (taksi) motor yang mondar-mandir membawa penumpang yang ingin menyeberang. Jika berkeliling di sepanjang Sungai Musi, kita harus menggunakan perahu bermotor dengan menyewanya dibawah Jembatan Ampera.

Kuto Besak merupakan keraton, pusat Kesultanan Palembang Darussalam dan sebagai pusat kekuasaan tradisional. Pengertian "Kuto" berasal dari kata Sansekerta yang artinya adalah kota, puri, benteng atau kubu. Sedangkan pengertian "Besak" diartikan sebagai pagar yang tinggi yang berbentuk dinding. Kuto Besak lokasinya berdekatan dengan kantor Walikota Palembang, tepatnya di pinggiran sungai Musi. Secara historis, Benteng Kuto Besak memiliki kepentingan umum, yaitu pengatur benda cagar budaya yang dapat menunjang pembangunan nasional di bidang ilmu pengetahuan, pendidikan, pariwisata, dan lain-lain. Salah satu strategi pengembangan terbaik di kawasan kota bersejarah ini adalah dengan menjadikan kawasan tersebut sebagai pusat wisata dengan bangunan bersejarah sebagai objek wisata di kota Palembang. Pembangunan dan penataan kawasan di sekitar Plaza Benteng Kuto Besak menjadi tempat hiburan terbuka yang menjual pesona Musi dan bangunan-bangunan bersejarah.

Masjid Agung Palembang atau yang dulu dinamakan Masjid Sultan dibangun pada tahun 1738 oleh Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo. Diresmikan pemakaiannya pada tanggal 28 Jumadil Awal 1151 H (26 Mei 1748). Ukuran bangunan masjid waktu pertama dibangun semula seluas 1080 meter persegi dengan daya tampung 1200 jemaah. Perluasan pertama dilakukan dengan wakaf Sayid Umar bin Muhammad Assegaf Altoha dan Sayid Achmad bin Syech Sahab yang dilaksanakan pada tahun 1897 dibawah pimpinan Pangeran Natadagama Karta mangala Mustafa Ibnu Raden Kamaluddin. Pada awal pembangunannya (1738-1748), masjid ini tidak mempunyai menara. Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Najamudin (1758-1774) barulah dibangun menara yang letaknya agak terpisah di sebelah barat. Bentuk menaranya seperti pada menara bangunan kelenteng dengan bentuk atap yang melengkung. Pada bagian luar badan menara terdapat teras berpagar yang mengelilingi bagian badan. Bentuk masjid yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Agung, jauh berbeda tidak seperti yang kita lihat sekarang. Bentuk yang sekarang ini telah mengalami berkali-kali perombakan dan perluasan. Pada mulanya perbaikan dilakukan oleh pemerintah Belanda setelah terjadi perang besar tahun 1819 dan 1821. Setelah dilakukan perbaikan kemudian dilakukan penambahan/perluasan pada tahun 1893, 1916, 1950-an, 1970-an, dan terakhir pada tahun 1990-an. Pada pekerjaan renovasi dan pembangunan tahun 1970-an oleh Pertamina, dilakukan juga pembangunan menara sehingga mencapai bentuknya yang sekarang. Menara asli dengan atapnya yang bergaya Cina tidak dirobohkan.

Kota Plaju adalah kota minyak yang menurut cerita nenek moyang disana adalah merupakan anak sungai yang bermuara ke Sungai Musi yang mengalir melalui daerah yang saat ini menjadi Rumah sakit dan masjid JAUHARUL IMAN (masjid kuno), dan juga merupakan nama pohon yang dahulu cukup banyak tumbuh disekitar sungai Plaju, sungai Komering dan Pulau Layang. Pohonnya sangat tinggi dan buahnya bulat (lebih besar dari buah apel) berwarna hijau sewaktu masih mentah, jika buahnya sudah matang berwarna merah menyala dan jika sudah tua kulitnya berserabut kasar, pohon ini termasuk tumbuhan rawa atau lebak dalam bahasa Palembang. Ada juga yang mengatakan Plaju berasal dari tumbuhan perdu yang banyak tumbuh didaerah ini, di Simpang Pipa hingga Pal Tigo atau di Lebak Berayun, sering dijumpai perdu kecil dengan bunga berwarna kuning yang disebut bunga Pelaju. Plaju dengan Kilang minyaknya adalah tempat untuk menyuling minyak mentah dari lapangan minyak yang ada di sekitar Palembang dan Jambi.

Gending Sriwijaya merupakan tarian masyarakat Sumatera Selatan untuk menyambut tamu istimewa yang bekunjung ke daerah ini, seperti kepala negara, kepala pemerintahan negara dan sahabat, duta besar atau yang setara itu. Tari tradisional ini berasal dari masa kerajaan Sriwijaya. Tarian ini mencerminkan sikap tuan rumah yang ramah, gembira dan bahagia, tulus dan terbuka terhadap tamu yang istimewa itu. Tarian dibawakan oleh 9 orang penari yang berbusana Adat Aesan Gede, Selendang Mantri, paksangkong, Dodot dan Tanggai. Mereka adalah penari inti yang dikawal dua penari lainnya yang membawa payung dan tombak. Sedang di bagian belakang adalah penyanyi Gending Sriwijaya. Pada saat ini peran penyanyi dan musik pengiring ini sudah digantikan dengan memakai tape recorder. Penari paling depan membawa tepak sebagai Sekapur Sirih untuk dipersembahkan kepada tamu istimewa yang datang, diiringi dua penari yang membawa pridon terbuat dari kuningan. Persembahan Sekapur Sirih ini menurut aslinya dilakukan oleh putri raja, Sultan atau bangsawan.

0 komentar:

 

Copyright © 2010 Picnic Together Designed by Ipietoon Blogger Template
Girl Vector Copyrighted to Dapino Colada